Jam

Friday, May 17, 2013

SEJARAH SINGKAT KERAJAAN BANAWA

Kerajaan Banawa didirikan oleh Sawerigading dengan puteranya bernama La Galigo. Dengan perahu layar yang ramping bernama Banawa, mereka mengarungi lautan sampai ke pesisir barat Sulawesi Tengah dan berlabuh di sebuah pantai kira-kira 7 km dari kota Donggala sekarang. Pantai tersebut dinamakan Langga Lopi dan daerah disekitarnya disebut Banawa. Di daerah ini La Galigo menikah dengan puteri Kaili dari Kerajaan Pudjananti bernama Daeng Malino Karaeng Tompo Ri Pudjananti sebagai isteri keempatnya. Dari pernikahan tersebut melahirkan dua orang anak, yang putra bernama Lamakarumpa Daeng Pabetta La Mapangandro (Pergi menantang kemudian menang akhirnya semua menyembah kepadanya) sedangkan yang puteri diberi nama Wettoi Tungki Daeng Tarenreng Masagalae Ri Pudjananti (bintang tunggal yang semua orang menjadi pengikutnya).
Oleh kakek dan ayahnya, La Mapangandro dinikahkan dengan cucu Arung Mangkane Ri Bone.Dari pernikahan tersebut, maka didirikanlah sebuah kerajaan bernama Banawa beribukota di Pudjananti yang jauhnya sekitar 5 km dari Kota Donggala sekarang. Pada saat itu Kerajaan Banawa memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut :
- Sebelah Utara berbatasan dengan Pelabuhan Donggala
- Sebelah Barat berbatasan dengan Dataran Luas atau Lappaloang
- Sebelah Timur berbatasan dengan Pegunungan Kabonga dan Loli
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Limbabo dan Tovale

Tetapi pada zaman pemerintahan Raja Banawa VII La Sa Banawa dan Raja Banawa IX La Marauna, Kerajaan Banawa yang merupakan kerajaan lokal memiliki luas wilayah sekitar 460.000 Ha terbagi atas tiga bagian sebagai berikut :
- Banawa Selatan : dari Loli Watusampu sampai Surumana berbatasan dengan Mamuju
- Banawa tengah : dari Pantoloan sampai Sindue
- Banawa Utara : dari Balaesang sampai Dampelas Sojol termasuk Pulau Pasoso, Pangalasing, Tingoan danMapute.

Sejak pemerintahan Raja Banawa VII La Makagili, Kerajaan Banawa yang berpusat di Pudjananti tepat pada Tanggal 23 Juli 1893 dipindahkan ke Donggala. Sejak itu, Donggala menjadi ibukota Kerajaan Banawa sampai pada akhir pemerintahan Raja Banawa XII Andi Parenrengi atau La Parenrengi. Sejalan dengan dihapusnya daerah-daerah Swapraja di seluruh Indonesia, sekarang Banawa hanyalah sebuah kecamatan dari ibukota Kabupaten Donggala.

Berikut ini silsilah singkat Raja-raja Banawa :

1. Raja Banawa I
Bernama I Badantasa, anak ke tujuh (Putri Bungsu) dari perkawinan Puteri Peambuni dengan Petta Manurung. Menikah dengan La Mapangandro (Putera dari La Galigo) dan memiliki dua orang puteri yaitu : I Tasa Banawa (menjadi Raja Banawa II) dan Gonenggati (diangkat menjadi Magau Kayunggahui)

2. Raja Banawa II (1552 – 1557)
Bernama I Tasa Banawa, mengembangkan kekuasaan kerajaan ke daerah sekitarnya dan membentuk dewan Hadat Pittunggota. Menikah dengan Magau Lando Dolo dan mempunyai dua orang puteri yaitu : Puteri Kotambulava yang lahir bersama seekor ular diberi nama Siri Banawa yang kemudian dihanyutkan ke Uwe Makuni. Kotambulava kemudian menjadi Madika Banawa menikah dengan Sawalambara mempunyai anak bernama Intoraya (menjadi Raja Banawa III). Sementara itu, puteri kedua I Tasa Banawa bernama Puteri Taranggita yang diangkat menjadi Madika Malolo Banawa dan menikah dengan Madika Matua Bale.

3. Raja Banawa III (1650 – 1698)
Bernama Intoraya yaitu cucu dari Raja Banawa II. Merupakan raja yang pertama memeluk agama Islam di Kerajaan Banawa yaitu pada tahun 1652. Menikah dengan La Masanreseng, Arung dari Cendana Mandar dan mempunyai empat orang anak yaitu : La Bugia (diangkat menjadi Raja Banawa IV), La Lotako, Puteri Nanggiwa dan Puteri Nanggiana.

4. Raja Banawa IV (1698 – 1758)
Bernama La Bugia, laki-laki pertama yang memerintah Kerajaan Banawa. Menikah dengan sepupu sekalinya Kotambulava yang dikaruniai dua orang anak yaitu : Puteri Isa Bida (Raja Banawa V) dan La Sauju. La Sauju kemudian menikah dengan To Nagaya Madika Tavaili yang menurunkan keturunan sampai pada generasi Lamakampali.

5. Raja Banawa V (1758 – 1800)
Bernama Isa Bida, raja wanita yang pemberani dan sakti. Menikah dengan Madika Matua Banawa dan memperoleh empat orang anak yaitu : La Bunia, Kalaya, Lauju dan Puteri Sandudogie (diangkat menjadi Raja Banawa VI)

6. Raja Banawa VI (1800 – 1845)
Bernama Puteri Sandudogie, raja wanita terakhir yang memegang tampuk pimpinan. Menikah dengan Magau Lando Dolo dan memperoleh seorang putera bernama La Sa Banawa (diangkat menjadi Raja Banawa VII)

7. Raja Banawa VII (1845 – 1889)
Bernama La Sa Banawa (bergelar “Mpue Mputi”) menikah dengan I Palusia dan dikaruniai dua orang putera yaitu : I Tolare menikah dengan Hanani Kabonga mempunyai anak bernama La Gaga (menjadi Raja Banawa X) dan La Marauna (diangkat mnejadi Raja Banawa IX)

8. Raja Banawa VIII (1889 – 1903)
Bernama La makagili, terkenal sebagai yang paling berani dan gigih melawan pemerintah Belanda. Keturunan-keturunan raja La Makagili pada umumnya masih banyak menetap di Pantoloan.

9. Raja Banawa IX (1903 – 1926)
Bernama La Marauna (bergelar “Mpue Totua”). Diangkat menjadi Magau Tavaili pada tahun 1900 – 1905. Raja pemberani dan bijaksana yang disegani oleh Pemerintah Belanda.

10. Raja Banawa X (1926 – 1932)
Bernama La Gaga putera dari I Tolare (kakak Raja La Marauna) dilantik oleh Dewan Hadat Pitunggota.

11. Raja Banawa XI (1932 – 1947)
Bernama La Ruhana putera keempat dari raja La Marauna.

12. Raja Banawa XII (1947 – 1959)
Bernama La Parenrengi, putera bungsu Raja La Marauna menikah dengan Hajja Sania Tombolotutu. La Parenrengi adalah Ketua PNI Pertama di Sulawesi Tengah sekaligus menjadi raja terakhir pada masa Kerajaan Banawa, ia meninggal di Palu pada tahun 1986.

"JAM GADANG" BUKIT TINGGI...,

Jam Gadang adalah landmark kota Bukittinggi dan provinsi Sumatra Barat di Indonesia. Simbol khas Sumatera Barat ini pun memiliki cerita dan keunikan karena usianya yang sudah puluhan tahun. Jam Gadang dibangun pada tahun 1926 oleh arsitek Yazin dan Sutan Gigi Ameh. Peletakan batu pertama jam ini dilakukan putra pertama Rook Maker yang saat itu masih berumur 6 tahun. Jam ini merupakan hadiah dari Ratu Belanda kepada Controleur (Sekretaris Kota).

Simbol khas Bukittinggi dan Sumatera Barat ini memiliki cerita dan keunikan dalam perjalanan sejarahnya. Hal tersebut dapat ditelusuri dari ornamen pada Jam Gadang. Pada masa penjajahan Belanda, ornamen jam ini berbentuk bulat dan di atasnya berdiri patung ayam jantan.

Pada masa penjajahan Jepang , ornamen jam berubah menjadi klenteng. Sedangkan pada masa setelah kemerdekaan, bentuknya ornamennya kembali berubah dengan bentuk gonjong rumah adat Minangkabau .

Angka-angka pada jam tersebut juga memiliki keunikan. Angka empat pada angka Romawi biasanya tertulis dengan IV, namun di Jam Gadang tertera dengan IIII.

Dari menara Jam Gadang, para wisatawan bisa melihat panorama kota Bukittinggi yang terdiri dari bukit, lembah dan bangunan berjejer di tengah kota yang sayang untuk dilewatkan.

Saat dibangun biaya seluruhnya mencapai 3.000 Gulden dengan penyesuaian dan renovasi dari waktu ke waktu. Saat jaman Belanda dan pertama kali dibangun atapnya berbentuk bulat dan diatasnya berdiri patung ayam jantan.

Sedangkan saat masa jepang berubah lagi dengan berbentuk klenteng dan ketika Indonesia Merdeka berubah menjadi rumah adat Minangkabau.

Setiap hari ratusan warga berusaha di lokasi Jam Gadang. Ada yang menjadi fotografer amatiran, ada yang berjualan balon, bahkan mencari muatan oto (kendaraan umum) untuk dibawa ke lokasi wisata lainnya di Bukittinggi.

"Jam Gadang ini selalu membawa berkah buat kami yang tiap hari bekerja sebagai tukang foto dan penjual balon di sini. Itu sebabnya jam ini menjadi jam kebesaran warga Minang," ujar Afrizal, salah seorang tukang potret amatir di sekitar Jam Gadang.

Untuk mencapai lokasi ini, para wisatawan dapat menggunakan jalur darat. Dari kota Padang ke Bukittinggi, perjalanan dapat ditempuh selama lebih kurang 2 jam perjalanan menggunakan angkutan umum. Setelah sampai di kota Bukittinggi, perjalanan bisa dilanjutkan dengan menggunakan angkutan kota ke lokasi Jam Gadang.


Lebih Jauh Tentang Jam Gadang:


Sepintas, mungkin tidak ada keanehan pada bangunan jam setinggi 26 meter tersebut. Apalagi jika diperhatikan bentuknya, karena Jam Gadang hanya berwujud bulat dengan diameter 80 sentimeter, di topang basement
dasar seukuran 13 x 4 meter, ibarat sebuah tugu atau monumen. Oleh karena ukuran jam yang lain dari kebiasaan ini, maka sangat cocok dengan sebutan Jam Gadang yang berarti jam besar.

Bahkan tidak ada hal yang aneh ketika melihat angka Romawi di Jam Gadang. Tapi coba lebih teliti lagi pada angka Romawi keempat. Terlihat ada sesuatu yang tampaknya menyimpang dari pakem. Mestinya, menulis angka Romawi empat dengan simbol IV. Tapi di Jam Gadang malah dibuat menjadi angka satu yang berjajar empat buah (IIII). Penulisan yang diluar patron angka romawi tersebut hingga saat ini masih diliputi misteri.

Tapi uniknya, keganjilan pada penulisan angka tersebut malah membuat Jam Gadang menjadi lebih “menantang” dan menggugah tanda tanya setiap orang yang (kebetulan) mengetahuinya dan memperhatikannya. Bahkan uniknya lagi, kadang muncul pertanyaan apakah ini sebuah patron lama dan kuno atau kesalahan serta atau atau yang
lainnya. Dari beragam informasi ditengah masyarakat, angka empat aneh tersebut ada yang mengartikan sebagai penunjuk jumlah korban yang menjadi tumbal ketika pembangunan. Atau ada pula yang mengartikan, empat orang tukang pekerja bangunan pembuatan Jam Gadang meninggal setelah jam tersebut selesai. Masuk akal juga, karena jam tersebut diantaranya dibuat dari bahan semen putih dicampur putih telur.

Jika dikaji apabila terdapat kesalahan membuat angka IV, tentu masih ada kemungkinan dari deretan daftar misteri. Tapi setidaknya hal ini tampaknya perlu dikesampingkan.
Sebagai jam hadiah dari Ratu Belanda kepada controleur (sekretaris kota), dan dibuat ahli jam negeri Paman Sam Amerika, kemungkinan kekeliruan sangat kecil. Tapi biarkan saja misteri tersebut dengan berbagai kerahasiaannya.

Namun yang patut diketahui lagi, mesin Jam Gadang diyakini juga hanya ada dua di dunia. Kembarannya tentu saja yang saat ini terpasang di Big Ben, Inggris. Mesin yang bekerja secara manual tersebut oleh pembuatnya, Forman (seorang bangsawan terkenal) diberi nama Brixlion.

Sekarang balik lagi ke angka Romawi empat, apakah pembuatan angka empat yang aneh itu disengaja oleh pembuatnya, juga tidak ada yang tahu. Tapi yang juga patut dicatat, bahwa Jam Gadang ini peletakan batu pertamanya dilakukan oleh seorang anak berusia enam tahun, putra
pertama Rook Maker yang menjabat controleur Belanda di Bukittinggi ketika itu.

Ketika masih dalam masa penjajahan Belanda, bagian puncak Jam Gadang terpasang dengan megahnya patung seekor ayam jantan. Namun saat Belanda kalah dan terjadi pergantian kolonialis di Indonesia kepada Jepang, bagian atas tersebut diganti dengan bentuk klenteng. Lebih jauh lagi ketika masa kemerdekaan, bagian atas klenteng diturunkan diganti gaya atap bagonjong rumah adat Minangkabau.

"CINTA SEJATI"

Suasana pagi itu sangat sibuk. Jam menunjukkan pukul 8:30 ketika seorang lelaki tua umur 80-an masuk untuk meminta agar jahitan di ibu jarinya dilepas. Ia berkata bahwa ia sedang terburu-buru karena ada janji pukul 9:00. Aku memahami gelagatnya lalu memintanya untuk duduk. Aku tahu pekerjaan ini akan memakan waktu lebih dari satu jam sebelum orang lain bisa menemuinya.

Aku perhatikan ia melihat jamnya lalu memutuskan untuk dilepas jahitannya. Karena saat itu aku sedang tak sibuk dengan pasien-pasien lain, maka kuteliti luka di ibu jarinya. Ternyata lukanya telah sembuh dengan baik, lalu kukatakan kepada salah seorang dokter apa yg hendak kulakukan. Aku lalu menyiapkan peralatan dan barang-barang yang kuperlukan untuk melepas jahitan dan membalut lukanya.

Sambil merawat lukanya aku terlibat dalam pembicaraan dengannya. Aku bertanya apakah pagi ini ia punya janji dengan salah seorang dokter di sini karena ia tampak begitu terburu-buru. Ia menjawab tidak, ia harus pergi ke rumah perawatan (nursing home) untuk sarapan bersama istrinya. Aku lalu bertanya tentang keadaan istrinya. Ia berkata bahwa istrinya menderita Alzheimer dan belum lama dirawat di tempat itu.

Sambil mengobrol, kuselesaikan balutan di ibu jarinya. Aku bertanya apakah istrinya akan merasa khawatir bahwa hari ini ia agak terlambat. Ia menjawab bahwa istrinya sudah lima tahun tidak lagi mengenalinya. Aku merasa terkejut dan bertanya, "Apakah kau pergi ke sana setiap hari meski istrimu sudah tidak mengenalimu?"

Ia tersenyum, menepuk tanganku lalu berkata, "Benar ia tidak mengenaliku, tapi aku kan mengenalinya!"

Aku harus menahan tangis haruku ketika ia pergi. Aku merenung, "Ini adalah jenis cinta yang kuharapkan dalam hidupku."

Sungguh istrinya adalah wanita yang beruntung. Seharusnya kita semua memiliki cinta semacam ini. Cinta sejati tidak bersifat jasmani, dan tak pula hanya bersifat romantis. Cinta sejati adalah kesediaan untuk menerima apa adanya, dan kerelaan untuk menerima apa yang telah, apa yang akan dan apa yang tidak akan terjadi.




CERITA YANG SANGAT MENYETUH, :(

Wednesday, May 15, 2013

Ghany........(Anaknya Bunda Nur & Ayah Fadil) ^_^

Ghani tak terasa, dari hari ke hari, minggu ke minggu, bulan demi bulan, tingkahmu semakin lucu, dan menggemaskan, Tante Echa, sangat senang melihatnya.,, sehat selalu yach Nak Ghany Ganteng..,
dan Menjadi Kebanggaan Ayah & Bunda, :-)

I Love You Ghany (^_^)